Aku begitu mencintai masa SMA ku. Disini sepertinya semua tersenyum dan tertawa. Ada teman dan sahabat yang menemaniku selalu. Dan ada dia yang menjadi salah satu alasanku datang ke sekolah setiap hari.
Berjuta kenangan semasa SMA telah terukir indah disini, di lorong sekolah tempatku menimba ilmu sewaktu aku masih memakai seragam putih abu – abu 15 tahun yang lalu. Bagiku lorong ini memiliki arti penting karena di lorong ini banyak kenangan yang sampai sekarang tidak bisa aku hilangkan dari ingatanku. Terutama kenanganku dengan si dia, cinta pertama ku di SMA.
Pagi ini tidak biasanya aku bangun terlambat dan aku harus buru – buru bergegas untuk pergi ke sekolah. Mungkin ini efek dari semalam aku begadangan demi menyelesaikan gambarku. Untungnya satpam sekolah ku belum mengeluarkan kunci gembok ketika aku datang.
“Pasti abis begadang bikin gambar ya nak Dani?” tanya pak satpam kepadaku.
“Tau aja pak hehe makasih ya pak saya ngga di kunciin. Saya masuk ya pak!!!” jawabku sambil merapikan rambutku yang berantakan karena memakai helm.
Seperti biasa setiap paginya aku harus melalui lorong ini untuk menuju ke kelas ku di 12 IPA 5. Setiap paginya juga aku bisa melihatnya dari lorong ini bahkan tak jarang aku menangkapnya sedang tersenyum kearahku dan aku pun membalas senyum manisnya itu. Tak salah kalau namanya Aphrodita, seperti arti namanya dia begitu cantik dan menyenangkan. Dia adik kelasku yang baru masuk tahun ajaran ini. Entah mengapa aku bisa jatuh hati padanya. Padahal aku tidak pernah “naksir” pada perempuan yang umurnya di bawahku, aku cenderung menyukai yang sepantaran denganku. Tapi semenjak bertemu dengannya aku merasa aku seperti makan omonganku sendiri. Lebih lebih aku sangat menyesal, mengapa aku baru memiliki perasaan seperti ini ketika sebentar lagi aku akan berpisah dengannya. Kurang dari 1 bulan lagi aku akan menjadi seorang mahasiswa baru dan aku akan berpisah dengannya. Aku begitu bodoh padahal jelas jelas selama 6 bulan terakhir ini, ku dengar dari teman – temannya bahwa sebenarnya Dita menyimpan perasaan terhadapku. Namun aku tidak pernah merespon hal tersebut. Aku cuek padanya dan hanya terfokus pada buku sketsa dan pensil ku ini.
“Awwwww! Aduh” “Dani, Sudah selesai menghayalnya?” tanya Bu Rasti kepada ku.
Untuk kesekian kalinya aku melamun saat pelajaran dan sudah berkali – kali wajahku yang tampan ini dijadikan tempat mendarat penghapus papan tulis itu. Oh tidak....!
Pandangan ku melayang jauh mengingat masa – masa SMA ku itu. Aku duduk di salah satu kursi di barisan belakang kelas 12 IPA 5 yang sudah jauh berubah sejak aku lulus. Hanya satu yang masih ada sampai sekarang. Gambar sketsa yang ku buat hingga malam dan membuatku hampir terlambat waktu itu. Aku tak menyangka gambar ini masih tergantung rapi di sebelah papan tulis. Gambar itu mengingatkan ku pada kenangan bersama Dita. Gambar ini sebenarnya khusus ku buat untuknya tapi karena suatu hal akhirnya aku mengurungkan niatku dan aku memilih untuk memajangnya di kelas ini.
Aku berjalan menyusuri lapangan sekolah dan pandanganku tertuju pada satu ruang di pinggir lapangan. Dulu disana aku dan teman – teman rohani kristen biasa mengadakan persekutuan setiap jumatnya. Biasanya sepulang dari sana aku dan teman – teman sering bermain – main ke danau yang ada di belakang sekolah melihat rupa matahari yang hendak terbenam.
Hari ini seperti biasanya kami mengadakan persekutuan jumat. Tapi tidak biasanya teman – teman yang lain langsung pulang setelah persekutuan ini. Dan jadilah aku tinggal berdua dengan Dita di ruangan ini.
“Dit, lo mau langsung pulang?” tanyaku gugup
“Nggak kok kak, aku masih mau disini. Mau ngerjain tugas bareng Deny”
“Tugas apaan? Masih jaman ngerjain tugas?” ledekku padanya
“Tugas kimia kak, ada yang ngga ngerti nih”
“Tentang apaan deh? Sini gue ajarin” kataku padanya dengan muka antusias bak anak ayam yang telah bertemu dengan induknya.
“Makasih kak ngga usah repot – repot. Aku udah janji mau belajar bareng Deny.”
Rasanya seketika itu hatiku terbelah menjadi dua. Sakit sekali rasanya.
“Em ooo...em oooh yaudah. Kalo ada kesulitan emmm gue masih disini kok...” jawabku terbata bata.
“Siap boss. Aku kesana dulu ya kak....”
dan ia pergi meninggalkan aku sendiri. Aku sangat iri pada Deny. Deny bukan sahabat Dita, tapi mereka satu kelas dan kulihat mereka sangat akrab. Kapan aku bisa sedekat itu ketika aku bersama Dita? Entahlah. Cukup lama aku memperhatikan Dita dan Deny dari ruangan ini. Rasanya seperti ada api yang keluar dari telingaku dan ada tanduk diatas kepalaku.
“Jadi ini yang namanya cemburu” pikirku dalam hati
“Arggggggh!”.
Aku merapikan tas ku dan setelah ini aku akan bergegas pulang. Tiba – tiba Dita muncul dihadapanku, dia juga ingin mengambil tasnya. Sepertinya dia juga ingin pulang ke rumahnya.
“Daritadi kak Dani belom pulang?”
“Belom” jawabku ketus.
Aku berjalan lebih cepat dari biasanya rasanya aku ingin segera sampai di rumah.
“Siaaaaal! Baru jam segini pintu gerbang udah di gembok aja dasar satpam males”
aku berbalik dan ku lihat wajah Dita nampak begitu takut. Ya aku banyak ditakuti teman – teman ku karena aku sangat tempramen. Aku berusaha menenangkan diriku. Aku tidak ingin orang yang aku sayangi merasa takut bila bersama ku.
“Kalo lo ngga pake rok, udah gue ajak lompat pager tapi sayang lo pake rok pasti bakal susah. Kita lewat belakang aja yuk, gue tau jalannya” ajakku padanya dan dia akhirnya mengikuti ku.
“Wawww ngga nyangka pemandangan disini indah banget....”
“lo baru pertama kali lewat sini?” tanyaku padanya
“Iya kak ternyata bener kata temen – temen disini bagus banget viewnya”
saat itu jam ku menunjukkan pukul 17.30 dan matahari sudah bergegas pulang ke barat. Guratan – guratan sinar oranye kemerah – merahan tergambar indah di langit. Angin semilir yang bertiup sejuk. Bunyi air yang seakan menambah kesempurnaan pemandangan sore ini. Apalagi saat ini aku hanya berdua dengannya. Ku lihat senyum mulai merekah dari bibirnya. Sungguh aku berharap waktu berhenti saat ini juga. Dan perasaan ini terasa semakin kuat menekan, sepertinya perasaan ini sangat ingin diutarakan pada sosok indah disebelahku ini. Aku pernah menonton sebuah film yang pesannya bilang bahwa jika kamu mencintai seseorang, maka kamu harus mengatakannya begitu momen itu datang. Karena kalau tidak, maka momen itu akan pergi begitu saja dan tidak akan pernah datang lagi, lalu kamu akan menyesal. Dan aku melewatkan momen itu begitu saja.
1 bulan kemudian aku resmi menjadi almamater SMA Negeri 1 dan aku telah tercatat sebagai mahasiswa baru di salah satu universitas negeri terkemuka di Indonesia sebut saja Institut Teknologi Bandung. Memang sudah menjadi impian ku untuk dapat melanjutkan pendidikan disini. Bukan teknik elektro yang ku ambil, namun seni rupa yang menjadi tujuanku. Aku rasa bakat menggambarku perlu dikembangkan disana, dan aku sangat senang semua impianku tercapai. Dan semua ini karena Dita. Ketika aku mengerjakan test keterampilanku, aku tidak memiliki inspirasi sama sekali. Hampir 1 jam aku hanya berdiam tanpa tahu apa yang akan ku gambar. Tiba – tiba masuklah sebuah pesan singkat dari Dita.
“Semangat ya kak testnya. Aku doain kakak keterima disana. Dita”
wajahku merekah ketika membacanya. Seketika itu aku terpikir untuk menggambar diriku bersamanya dalam suasana sore waktu kami melihat pemandangan di danau belakang sekolah. Dan tidak salah, aku mendapat nilai tertinggi dan akhirnya aku diterima di fakultas tersebut. Rasanya saat aku menerima pengumuman keberhasilanku, aku ingin sekali berterima kasih kepada Dita karena dia aku bisa seperti ini.
Sayangnya semenjak pengumuman itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Padahal setiap hari aku masih datang ke sekolah walaupun sekedar untuk bertemu sahabat – sahabatku ataupun mengambil buku yang masih tertinggal di loker ku. Dan setiap harinya aku selalu melewati lorong kelasnya tapi tetap saja aku tidak dapat menemukannya. Selidik punya selidik ternyata sore setelah Ia mengirikan pesan singkat tersebut, ia mengalami kecelakaan. Mobil yang ia kendarai ditabrak oleh truk penangkut batu. Mobilnya ringsek dan nyawanya tidak dapat tertolong lagi. Bagaikan petir di siang bolong ketika aku mendengarnya. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku tak menyangka semua ini akan terjadi begitu cepat. Aku bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih padanya atas semua inspirasi yang dia berikan padaku. Aku sungguh sungguh menyesal. Dan tak terasa air mata telah jatuh membasahi pipiku. Ternyata benar apa pesan dari film yang pernah ku tonton itu. Tinggal penyesalan yang ada dibenakku sekarang. Ya tapi mau diapakan lagi, aku bukan Tuhan yang bisa mengatur jalannya kehidupan. Aku hanya manusia yang harus mau diatur hidupnya oleh Tuhan.
“Papa, kok melamun aja? Kita pulang yuk” ajak Dira, putriku tercinta.
“Iya Dira, papa inget semua kenangan pas papa masih SMA dulu. Yaudah kita pulang sekarang ya, mama mana?”
“mama udah di mobil pa. Ayo kita kesana!”
“iya sayang”
Aku bergegas pergi meniggalkan sekolah ini dengan sejuta kenangan yang terukir disini. Entah sampai kapan kenangan ini akan melekat didalam pikiranku tapi yang pasti semua kehidupan yang kita jalani tidak akan pernah abadi. Setiap pertemuan pasti selalu berakhir dengan perpisahan. Yang aku tahu adalah setiap kehidupan manusia pada dasarnya semua diatur oleh Yang Kuasa dan kita sebagai manusia hanya mampu berusaha dan bersabar menjalani apa yang diinginkan pengatur hidup kita. Masa lalu biarlah menjadi kenangan yang indah dalam hidup kita. Dan masa depan biarlah menjadi misteri dalam hidup kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar